Elon Musk, nama yang identik dengan inovasi teknologi dan kepemimpinan di SpaceX dan Tesla, juga dikenal memiliki kecintaan pada video game. Namun, di balik citra CEO jenius yang gemar bermain game, muncul kontroversi yang mengiringi klaim-klaim kehebatannya di dunia virtual. Sejumlah gamer, termasuk tokoh ternama seperti Quin69, mencurigai Musk menggunakan "joki" – pemain profesional yang memainkan game atas nama orang lain – untuk mencapai prestasi yang diklaimnya. Tuduhan ini bukan hanya sekadar gosip di kalangan gamer, tetapi memicu perdebatan yang lebih luas tentang integritas, etos kerja, dan bahkan definisi "kehebatan" dalam dunia kompetitif game.
Kasus terbaru yang memicu kontroversi adalah penampilan Musk di Path of Exile 2. Dalam sebuah siaran langsung yang disaksikan oleh jutaan penonton, Musk memperlihatkan permainan yang dinilai amatir oleh banyak gamer berpengalaman. Quin69, streamer Twitch dengan lebih dari 892.000 pengikut, menjadi salah satu yang paling vokal dalam mengkritik penampilan Musk. Dalam siaran langsungnya, Quin69 menyoroti beberapa momen yang dianggapnya sebagai bukti kuat penggunaan joki. Musk terlihat kesulitan menavigasi dunia game, gagal memasuki portal yang seharusnya dapat diakses, dan bahkan mengabaikan item-item berharga yang tergeletak di hadapannya. Bagi Quin69, ini bukan sekadar kesalahan pemain baru, melainkan indikasi kuat bahwa akun tersebut dimainkan oleh orang lain yang jauh lebih ahli.
"Dia benar-benar tidak tahu apa yang sedang dilakukannya. Ini jelas sharing account," tegas Quin69 dalam siarannya, mengisyaratkan penggunaan akun bersama atau joki. Pernyataan ini memicu gelombang diskusi di kalangan komunitas Path of Exile 2, dengan banyak gamer yang sepakat dengan analisis Quin69. Ketidakmampuan Musk dalam memahami mekanisme dasar game dan kejanggalan-kejanggalan dalam gameplay-nya semakin memperkuat kecurigaan tersebut. Kejadian ini bukanlah yang pertama kali memicu kontroversi seputar kemampuan gaming Elon Musk.
Sebelumnya, Musk sempat membanggakan pencapaiannya di Diablo IV, mengklaim dirinya sebagai salah satu dari 20 pemain teratas di dunia. Ia bahkan mengunggah video di platform X (sebelumnya Twitter) yang menunjukkan penaklukannya terhadap "the Pit," tantangan puncak di akhir game, dalam waktu kurang dari dua menit. Prestasi ini, yang diklaimnya di "Joe Rogan Experience," menimbulkan keraguan di kalangan gamer Diablo IV yang lebih berpengalaman. Meskipun Musk tercatat di peringkat 53 pada papan peringkat Helltides.com, banyak yang meragukan keaslian pencapaian tersebut.
Luiz Felipe Terra da Silva, seorang mahasiswa dan pemain game TikTok asal Brasil, mewakili sentimen banyak gamer yang skeptis. Ia berpendapat bahwa komunitas game secara luas percaya Musk memanfaatkan bug atau celah dalam game untuk mencetak rekor tersebut. "Jika dia benar-benar menyukai game tersebut, dia seharusnya bermain tanpa hal-hal ini," kata Silva kepada Fortune. Ia menambahkan, "Saya tidak melihat alasan untuk melakukan ini karena dia sudah terkenal – sangat terkenal." Pernyataan Silva menyoroti aspek lain dari kontroversi ini: apakah seorang tokoh terkenal seperti Musk benar-benar membutuhkan joki untuk membuktikan kemampuannya dalam game?
Kontroversi ini semakin rumit dengan pernyataan Walter Isaacson, penulis biografi Elon Musk yang diterbitkan pada tahun 2023. Isaacson menggambarkan Musk sebagai pemain game berat yang bahkan rela menunda rapat untuk melanjutkan sesi bermainnya. Musk sendiri pernah menyatakan bahwa game seperti Polytopia membantunya menjadi CEO yang lebih baik, dengan alasan bermain game melatih kemampuan strategi dan pengambilan keputusan. Namun, ironisnya, klaim-klaim kehebatannya dalam game justru diragukan karena tuduhan penggunaan joki.
Perdebatan ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang definisi "kehebatan" dalam dunia game. Apakah kehebatan hanya diukur dari pencapaian puncak dan rekor yang dicetak, atau juga mencakup proses, dedikasi, dan keahlian yang ditunjukkan selama permainan? Dalam konteks Musk, penggunaan joki, jika terbukti benar, menunjukkan bahwa ia lebih memprioritaskan citra kehebatan daripada proses belajar dan menikmati permainan itu sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan kejujuran dalam mengejar prestasi, baik di dunia nyata maupun dunia virtual.
Lebih jauh lagi, kontroversi ini juga mengungkap sisi lain dari budaya game kompetitif. Tekanan untuk mencapai puncak klasemen, terutama bagi tokoh publik, dapat mendorong perilaku yang tidak sportif, termasuk penggunaan joki. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya integritas dan sportivitas dalam komunitas game, terlepas dari status atau popularitas pemain.
Perdebatan seputar Elon Musk dan penggunaan joki juga menyoroti kompleksitas hubungan antara dunia nyata dan dunia virtual. Dalam era di mana citra online sangat penting, tokoh publik seperti Musk mungkin merasa terdorong untuk menampilkan diri sebagai pemain game yang ahli, terlepas dari kemampuan sebenarnya. Penggunaan joki, dalam hal ini, dapat dilihat sebagai upaya untuk mengelola citra publik dan memenuhi ekspektasi yang tinggi.
Namun, tindakan tersebut juga menimbulkan pertanyaan etika. Apakah penggunaan joki dapat dibenarkan, bahkan jika dilakukan oleh tokoh publik yang sibuk? Apakah tindakan tersebut merugikan pemain lain yang bermain dengan sportif dan jujur? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak memiliki jawaban sederhana dan membutuhkan pertimbangan etika dan moral yang mendalam.
Kesimpulannya, kontroversi seputar Elon Musk dan penggunaan joki dalam game bukanlah sekadar perdebatan di kalangan gamer. Ini adalah cerminan dari kompleksitas dunia game kompetitif, tekanan untuk mencapai prestasi, dan pentingnya integritas dalam mengejar kesuksesan, baik di dunia nyata maupun dunia virtual. Kasus ini juga mempertanyakan definisi "kehebatan" dan mendorong refleksi tentang bagaimana kita menilai pencapaian dan perilaku individu, terutama dalam konteks di mana citra publik sangat penting. Apakah Elon Musk benar-benar seorang gamer ulung atau hanya memanfaatkan joki untuk menciptakan ilusi kehebatan? Pertanyaan ini tetap menjadi perdebatan yang menarik dan terus berlanjut di kalangan gamer dan publik luas. Kejadian ini juga menjadi pengingat pentingnya transparansi dan kejujuran dalam dunia game yang semakin kompetitif dan terhubung dengan dunia nyata. Ke depannya, diharapkan akan ada lebih banyak diskusi dan kesadaran tentang etika dalam bermain game, terutama bagi tokoh publik yang memiliki pengaruh besar.