Allianz Stadium, yang biasanya bergemuruh dengan nyanyian pendukung setia Juventus, berubah menjadi arena kesunyian yang mencekam pada pekan ke-28 Serie A musim 2024/2025. Kekalahan telak 0-4 dari Atalanta bukan hanya sebuah kekalahan biasa, melainkan sebuah tragedi yang mengukir catatan pahit dalam sejarah klub raksasa Italia ini. Untuk pertama kalinya sejak tahun 1967, Juventus menelan pil pahit kekalahan kandang dengan selisih empat gol atau lebih dalam kompetisi Serie A. Malam itu, bukan hanya kegagalan taktik dan strategi yang terlihat, tetapi juga sebuah krisis kepercayaan diri yang mendalam yang melanda tim berjuluk Bianconeri.
Pertandingan yang dimulai dengan penuh harapan bagi para pendukung Juventus berakhir dengan mimpi buruk yang tak terbayangkan. Atalanta, dengan permainan yang superior dan penuh determinasi, langsung mengambil kendali pertandingan sejak menit awal. Mateo Retegui membuka kran gol, diikuti oleh Marten de Roon yang menggandakan keunggulan tim tamu. Davide Zappacosta dan Ademola Lookman kemudian melengkapi pesta gol Atalanta, membuat pertahanan Juventus terlihat rapuh dan tak berdaya di hadapan gempuran bertubi-tubi dari tim lawan. Skor 4-0 yang bertahan hingga peluit panjang berbunyi menjadi bukti nyata betapa dominannya Atalanta dan betapa hancurnya pertahanan Juventus.
Kekalahan ini memicu gelombang kekecewaan yang luar biasa, tidak hanya di kalangan pendukung Juventus, tetapi juga di seluruh dunia sepak bola. Media sosial dibanjiri oleh komentar-komentar yang mengungkapkan rasa frustrasi dan amarah. Tagar #MottaOut menjadi trending topic, menunjukkan ketidakpuasan yang meluas terhadap pelatih Thiago Motta. Banyak yang menilai bahwa Motta belum mampu membawa perubahan signifikan dan mengangkat performa tim yang tengah terpuruk. Kritik pedas dilontarkan, menuding Motta sebagai penyebab utama kegagalan tim, dan menyerukan pergantian pelatih segera.
Namun, di tengah gelombang kekecewaan yang besar, muncul pula reaksi-reaksi yang bernada sarkasme dan sindiran. Komentar akun @zamethzulfik di X.com, yang menyebutkan bahwa "Lawan Rans Entertainment juga bakal kalah," menjadi viral dan menggambarkan betapa rendahnya kepercayaan diri terhadap Juventus saat ini. Sindiran ini, meskipun bernada humor, menunjukkan keprihatinan yang mendalam terhadap performa Juventus yang dianggap telah jauh menurun, bahkan hingga ke titik di mana mereka diragukan mampu mengalahkan tim sepak bola dari luar konteks kompetisi elite Eropa seperti Rans Cilegon FC, sebuah klub yang identik dengan dunia hiburan di Indonesia.
Kekecewaan para pendukung Juventus tergambar jelas dalam berbagai postingan di media sosial. Berikut beberapa contohnya:
-
@prasetyo_putraa: "Udh mah ketiduran skip saur dan nonton juve yg ternyata kebantai 0-4. Ga nyonya rumah ga si nyonya tua sama sama mengecewakan. Ga lagi lagi deh ga begadang smp saur." Postingan ini menggambarkan kekecewaan yang mendalam, bahkan sampai rela mengorbankan waktu sahur untuk menyaksikan pertandingan yang berakhir dengan kekalahan memalukan.
@andy__1983: "TM bukanlah solusinya. Dia seharusnya melatih tim-tim seperti Fiorentina, Lazio, Roma, bahkan Milan dulu sebelum Juve memutuskan mengambilnya. Gambling yg Gagal Total. Juve sblm beli pemain-pemain mahal harusnya habis-habisan bujuk pelatih TOP berkarakter. Bayar mahal. Beli pemain #2. MottaOUT." Komentar ini menunjukkan kritik tajam terhadap kebijakan manajemen Juventus dalam memilih pelatih, yang dianggap terlalu berisiko dan gagal total.
-
@Irul_Khai: "Bagi yg berharap juve bakal jadi pesaing scudetto musim ini, simpan harapan kalian nak. Bisa konsisten aja di 4 besar udah syukur." Postingan ini menggambarkan realitas pahit yang harus diterima para pendukung Juventus, yaitu harapan untuk meraih scudetto (gelar juara Serie A) musim ini harus dikubur dalam-dalam.
-
@alloutJuventus: "Ah mana senen pula hari ini. Minggu depan juga Juve maennya senen. Awal minggu yang buruk." Komentar ini menunjukkan betapa kekalahan ini telah merusak mood awal pekan bagi para pendukung Juventus.
Kekalahan telak ini memunculkan berbagai pertanyaan kritis terhadap manajemen Juventus. Apakah strategi perekrutan pemain telah tepat? Apakah kebijakan transfer yang dilakukan telah efektif dalam meningkatkan performa tim? Apakah pelatih yang tepat telah dipilih untuk memimpin tim menuju kesuksesan? Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang serius dan tindakan nyata dari manajemen Juventus untuk memperbaiki situasi yang tengah kritis ini.
Lebih jauh lagi, kekalahan ini juga memicu perdebatan mengenai standar kualitas tim Juventus saat ini. Apakah Juventus masih pantas disebut sebagai klub elite Eropa? Apakah mereka masih mampu bersaing di level tertinggi kompetisi Eropa? Pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan evaluasi yang mendalam dan komprehensif terhadap seluruh aspek klub, mulai dari manajemen, pelatih, pemain, hingga dukungan dari pendukung.
Kekalahan 0-4 dari Atalanta bukan hanya sebuah angka di atas kertas, tetapi sebuah cerminan dari krisis yang tengah melanda Juventus. Ini adalah panggilan untuk perubahan, sebuah momentum bagi manajemen untuk melakukan evaluasi yang jujur dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengembalikan kejayaan Juventus. Jalan menuju kebangkitan akan panjang dan penuh tantangan, tetapi dengan evaluasi yang tepat dan komitmen yang kuat, Juventus masih memiliki kesempatan untuk bangkit dari keterpurukan dan kembali menjadi klub yang disegani di dunia sepak bola. Namun, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengakui kesalahan, menerima kritik, dan mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki semua kekurangan yang ada. Hanya dengan demikian, harapan untuk melihat Juventus kembali berjaya dapat terwujud. Malam kelam di Allianz Stadium menjadi pengingat yang pahit, tetapi juga menjadi pelajaran berharga yang harus dipetik oleh seluruh elemen di Juventus.