Kehebohan di media sosial baru-baru ini dipicu oleh beredarnya video sebuah mobil Toyota Fortuner hitam pelat sipil B-1374-LO yang menggunakan strobo di jalan raya. Yang lebih mengejutkan, mobil tersebut dikawal oleh kendaraan patroli pengawalan (patwal). Kejadian yang diduga terjadi di Jalan Ciawi-Puncak, Bogor, Jawa Barat ini, memicu perdebatan luas mengenai penegakan hukum lalu lintas dan pemahaman masyarakat tentang aturan penggunaan strobo. Video yang diunggah oleh akun Instagram @dashcam_owners_indonesia ini, tak hanya menampilkan pelanggaran lalu lintas yang terang-terangan, tetapi juga membuka jendela terhadap celah-celah hukum dan budaya mengemudi di Indonesia.
Mengupas Lapisan demi Lapisan Kasus Fortuner Berstrobo
Video tersebut menunjukkan Fortuner hitam dengan lampu hazard dan strobo menyala, melaju di jalur paling kanan jalan yang saat itu menerapkan sistem one way. Keberadaan patwal di depan mobil tersebut semakin memperkuat kesan bahwa mobil tersebut merasa berhak mendapatkan prioritas di jalan raya, meskipun menggunakan pelat nomor sipil. Kejadian ini bukan sekadar pelanggaran lalu lintas biasa, tetapi merupakan gambaran nyata dari ketidakadilan dan ketidaksetaraan di jalan raya.
Melalui aplikasi Sapa Warga, identitas mobil tersebut berhasil diungkap. Ternyata, Fortuner B-1374-LO (yang kemudian diketahui terdapat kesalahan penulisan pelat nomor pada berita awal, seharusnya Z-1374-LO) adalah Toyota Fortuner 2.4 VRZ 4×2 A/T warna hitam metalik, terdaftar di wilayah Tasikmalaya. Yang mengejutkan, pengecekan pajak kendaraan menunjukkan bahwa mobil tersebut tertib pajak. Rincian pajaknya pun terungkap:
- Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Pokok: Rp 4.593.900
- Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) Pokok: Rp 143.000
- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) Pokok: Rp 3.032.000 (diperkirakan, karena dalam berita hanya disebut Opsen PKB Pokok)

Total pajak yang dibayarkan mencapai Rp 7.768.900. Fakta ini menunjukkan bahwa kepatuhan membayar pajak tidak selalu berbanding lurus dengan kepatuhan terhadap peraturan lalu lintas lainnya. Mobil yang taat pajak ini justru melanggar aturan penggunaan strobo yang sangat jelas tercantum dalam undang-undang.
Regulasi yang Jelas, Penegakan yang Lemah?
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) pasal 59 secara tegas mengatur penggunaan lampu isyarat dan sirene. Pasal ini membatasi penggunaan strobo hanya untuk kendaraan tertentu, dan kendaraan pribadi jelas tidak termasuk di dalamnya. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan bahwa kendaraan bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat (merah, biru, kuning) dan sirene untuk kepentingan tertentu. Ayat 5 kemudian merinci kendaraan yang berhak menggunakan lampu isyarat dan strobo, antara lain:
- Lampu isyarat biru dan sirene: Kendaraan bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Lampu isyarat merah dan sirene: Kendaraan bermotor tahanan, pengawalan TNI, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah.
- Lampu isyarat kuning tanpa sirene: Kendaraan bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek kendaraan, dan angkutan barang khusus.
Kejelasan regulasi ini seharusnya menjadi landasan kuat untuk menindak tegas pelanggaran penggunaan strobo oleh kendaraan pribadi. Namun, realitanya, masih banyak kendaraan pribadi yang menggunakan strobo tanpa sanksi yang berarti. Hal ini menunjukkan kelemahan dalam penegakan hukum lalu lintas di Indonesia.
Sanksi yang Minim Efek Jera
Sanksi yang tercantum dalam pasal 287 ayat 4 UU LLAJ untuk pelanggaran penggunaan strobo terbilang ringan, yaitu kurungan maksimal satu bulan atau denda paling banyak Rp 250.000. Sanksi yang minim ini dinilai oleh Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, sebagai salah satu penyebab maraknya penggunaan strobo oleh masyarakat. Menurutnya, sanksi yang rendah tidak menimbulkan efek jera bagi para pelanggar. Ia bahkan menyarankan agar sanksi pidana dan denda ditingkatkan dalam revisi UU LLAJ agar ada efek jera.
Lebih dari Sekadar Strobo: Refleksi Budaya Mengemudi dan Keadilan di Jalan Raya
Kasus Fortuner berstrobo ini bukan hanya tentang pelanggaran penggunaan strobo semata. Lebih dari itu, kasus ini mencerminkan beberapa masalah mendasar dalam budaya mengemudi dan penegakan hukum di Indonesia:
- Kesadaran Hukum yang Rendah: Banyak masyarakat yang masih kurang memahami dan mematuhi peraturan lalu lintas. Keberadaan patwal pun seolah menjadi tameng bagi pelanggaran yang dilakukan.
- Penegakan Hukum yang Lemah: Sanksi yang ringan dan kurangnya penegakan hukum yang tegas menyebabkan pelanggaran lalu lintas, termasuk penggunaan strobo, masih marak terjadi.
- Ketidakadilan di Jalan Raya: Penggunaan strobo oleh kendaraan pribadi menciptakan ketidakadilan di jalan raya, karena memberikan hak istimewa yang tidak semestinya. Hal ini dapat memicu konflik dan membahayakan pengguna jalan lain.
- Peran Pengawalan: Keberadaan patwal yang mengawal Fortuner berstrobo menimbulkan pertanyaan tentang peran dan fungsi pengawalan tersebut. Apakah pengawalan tersebut sah dan sesuai prosedur? Pertanyaan ini perlu diusut tuntas.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kasus Fortuner berstrobo menjadi cerminan betapa pentingnya peningkatan kesadaran hukum, penegakan hukum yang tegas, dan revisi regulasi yang lebih efektif untuk menciptakan ketertiban dan keadilan di jalan raya. Sanksi yang lebih berat dan konsisten perlu diterapkan untuk memberikan efek jera kepada para pelanggar. Selain itu, edukasi dan sosialisasi peraturan lalu lintas kepada masyarakat juga perlu ditingkatkan. Kejadian ini juga menjadi pengingat bagi aparat penegak hukum untuk menindak tegas semua pelanggaran lalu lintas tanpa pandang bulu, termasuk yang melibatkan kendaraan yang dikawal. Hanya dengan upaya komprehensif ini, kita dapat berharap terciptanya budaya mengemudi yang tertib, aman, dan berkeadilan bagi semua pengguna jalan. Kasus ini juga seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi sistem pengawalan kendaraan, memastikan bahwa sistem tersebut tidak disalahgunakan untuk melindungi pelanggaran hukum. Transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses pengawalan perlu ditegakkan untuk mencegah kejadian serupa terulang di masa mendatang.