Sebuah kasus penembakan yang menewaskan seorang bos rental mobil di Rest Area KM 45 Tol Tangerang-Merak pada Kamis dini hari, 2 Januari 2025, mengungkap jaringan penggelapan mobil yang rumit dan melibatkan oknum anggota TNI Angkatan Laut. Tragedi ini berpusat pada sebuah Honda Brio berwarna oranye, bernomor polisi B 2696 KZO, yang harganya jauh di bawah nilai pasar saat berpindah tangan ke oknum TNI tersebut. Kisah di balik mobil ini jauh lebih kompleks daripada sekadar transaksi jual beli biasa. Mari kita telusuri kronologi kejadian dan misteri harga jual yang tak masuk akal.
Korban Tewas, Mobil Mewah Dijual Murah:
Insiden berdarah tersebut menewaskan IA (48), pemilik rental mobil, dan melukai RAB (59). Pelaku penembakan, seorang oknum anggota TNI AL berinisial Sertu AA, menggunakan Honda Brio milik korban yang telah digelapkan. Kejadian bermula dari upaya korban melacak mobilnya yang hilang melalui GPS tracker. Mengetahui keberadaan mobilnya, IA berupaya menghentikan pelaku, namun justru dibalas dengan lima tembakan yang mengakhiri hidupnya.
Yang mengejutkan, Sertu AA membeli mobil Honda Brio tersebut seharga Rp 40 juta. Angka ini sangat jauh dari harga pasar mobil bekas sejenis. Honda Brio RS 1.2 CVT keluaran terbaru saja dibanderol dengan harga Rp 253.100.000 OTR Jakarta. Bahkan untuk mobil bekas tahun 2019 dengan kondisi baik dan dokumen lengkap, harga pasarannya masih berkisar di atas Rp 170 juta, bahkan bisa mencapai Rp 200 juta untuk keluaran tahun 2023. Diskon fantastis hingga lebih dari 80% ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan legalitas transaksi tersebut.
Jaringan Penggelapan: Rantai Panjang Penipuan
Kasus ini bukan sekadar penembakan biasa, melainkan bagian dari jaringan penggelapan mobil rental yang terorganisir. Tersangka utama penggelapan adalah Ajat Supriatna (AS), yang awalnya menyewa Honda Brio oranye tersebut. Namun, alih-alih mengembalikan mobil, AS justru menyerahkannya kepada IH, seorang buronan yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
IH berperan sebagai kunci dalam jaringan ini. Ia menerima mobil dari AS dan kemudian menyerahkannya kepada RM. Sebelum menjual mobil tersebut kepada IS seharga Rp 23 juta, RM dengan sengaja merusak dua dari tiga alat GPS yang terpasang di mobil untuk menghilangkan jejak. Langkah ini menunjukkan perencanaan yang matang dan upaya untuk mengaburkan jejak kejahatan.
Setelah berpindah tangan ke IS, mobil tersebut akhirnya sampai ke Sertu AA dengan harga yang melonjak menjadi Rp 40 juta. Perbedaan harga yang signifikan antara pembelian IS dan Sertu AA (Rp 23 juta vs Rp 40 juta) menunjukkan adanya markup harga yang tidak wajar dan kemungkinan besar indikasi keterlibatan pihak lain dalam transaksi ilegal ini. Proses penjualan yang berlapis-lapis ini menunjukkan adanya upaya untuk menyamarkan asal-usul mobil dan menghindari penyelidikan.
Pertanyaan yang Belum Terjawab:
Kasus ini meninggalkan sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab secara tuntas oleh pihak berwajib:
-
Bagaimana Sertu AA bisa mendapatkan mobil dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran? Apakah ada unsur suap atau pencucian uang dalam transaksi ini? Penyelidikan lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengungkap kemungkinan keterlibatan pihak lain yang memfasilitasi transaksi ilegal tersebut. Apakah Sertu AA mengetahui asal-usul mobil yang dibelinya? Jika iya, apakah ia terlibat dalam konspirasi penggelapan?
Apa peran SY dalam transaksi antara IS dan Sertu AA? Siapa SY dan apa hubungannya dengan para tersangka? Perannya dalam menaikkan harga mobil dari Rp 23 juta menjadi Rp 40 juta perlu diungkap untuk mengungkap jaringan penggelapan yang lebih luas.
-
Seberapa luas jaringan penggelapan mobil ini? Apakah hanya melibatkan para tersangka yang telah ditangkap atau masih ada pihak lain yang terlibat? Penyelidikan harus diperluas untuk mengungkap seluruh jaringan dan mencegah kejahatan serupa di masa depan.
-
Bagaimana pengawasan terhadap rental mobil dapat ditingkatkan untuk mencegah kasus serupa? Sistem pelacakan GPS yang lebih canggih dan terintegrasi dengan pihak berwajib perlu dipertimbangkan untuk mencegah penggelapan mobil.
-
Apa sanksi yang akan dijatuhkan kepada Sertu AA? Sebagai anggota TNI, Sertu AA seharusnya menjunjung tinggi hukum dan aturan. Tindakannya yang terlibat dalam kejahatan ini harus diproses secara hukum dan mendapatkan sanksi yang setimpal. Apakah ada kemungkinan keterlibatan oknum lain di dalam institusi TNI?
Implikasi Hukum dan Etika:
Kasus ini memiliki implikasi hukum dan etika yang serius. Selain pasal penggelapan dan pembunuhan, Sertu AA juga dapat dikenakan sanksi kode etik profesi sebagai anggota TNI. Transaksi jual beli mobil dengan harga yang sangat jauh di bawah harga pasaran menimbulkan kecurigaan adanya tindak pidana pencucian uang (TPPU). Penyelidikan yang menyeluruh dan transparan sangat diperlukan untuk mengungkap seluruh jaringan dan memberikan keadilan kepada korban.
Kesimpulan:
Kasus Honda Brio oranye ini lebih dari sekadar kasus penembakan dan penggelapan mobil. Ini adalah gambaran nyata dari jaringan kejahatan terorganisir yang melibatkan berbagai pihak, termasuk oknum aparat. Penyelidikan yang mendalam dan tuntas diperlukan untuk mengungkap seluruh jaringan, memberikan keadilan kepada korban, dan mencegah kejadian serupa di masa depan. Transparansi dan akuntabilitas dari pihak berwajib menjadi kunci dalam menyelesaikan kasus ini dan membangun kepercayaan publik. Harga murah yang fantastis dari mobil tersebut menjadi indikator kuat adanya praktik ilegal yang perlu diusut tuntas. Kejadian ini juga menjadi pengingat pentingnya pengawasan yang ketat terhadap praktik rental mobil dan penegakan hukum yang tegas terhadap kejahatan terorganisir.