Gelombang penolakan terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali menggema di Indonesia. Tagar #TolakRUUTNI mendominasi media sosial, menjadi manifestasi keresahan publik yang meluas menjelang pembahasan paripurna RUU tersebut di Gedung DPR RI pada 20 Maret 2025. Aksi demonstrasi yang direncanakan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama kelompok Barengwarga semakin memperkuat momentum penolakan ini. Lebih dari sekadar tagar, #TolakRUUTNI merepresentasikan perjuangan mempertahankan supremasi sipil dan mencegah kebangkitan dwifungsi militer yang dianggap sebagai ancaman serius bagi demokrasi Indonesia.
Kekhawatiran Publik: Bayang-Bayang Dwifungsi Militer
Ketakutan utama yang mendasari gelombang penolakan ini adalah potensi kembalinya dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), sebuah praktik yang pernah mewarnai sejarah Indonesia dan meninggalkan luka mendalam. Dwifungsi ABRI, yang memungkinkan militer untuk terlibat dalam urusan politik dan pemerintahan, telah terbukti sebagai sumber pelanggaran HAM, korupsi, dan ketidakstabilan politik. Banyak yang melihat RUU TNI ini sebagai pintu gerbang bagi kebangkitan praktik tersebut, mengancam demokrasi dan supremasi sipil yang telah susah payah dibangun pasca reformasi 1998.
RUU TNI yang diajukan, menurut para penentang, mengandung pasal-pasal yang berpotensi melemahkan pengawasan sipil terhadap militer. Kekhawatiran ini diperkuat oleh kurangnya transparansi dalam proses pembahasan RUU tersebut, yang dianggap tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik secara signifikan. Hal ini memicu kecurigaan bahwa RUU tersebut disusun dengan tujuan yang tidak sepenuhnya transparan dan berpotensi merugikan kepentingan rakyat.
Suara Rakyat Menggema di Media Sosial:
Media sosial, khususnya platform X (sebelumnya Twitter), menjadi medan pertempuran digital dalam pertarungan melawan RUU TNI. Tagar #TolakRUUTNI menjadi viral, diiringi oleh berbagai ungkapan kekhawatiran, seruan aksi, dan dukungan moral bagi para demonstran. Akun-akun individu dan organisasi masyarakat sipil, termasuk Kontras dan Barengwarga, aktif mengkampanyekan penolakan RUU ini.
Akun @barengwarga, misalnya, menyerukan aksi penyegelan Gedung DPR untuk mencegah pengesahan RUU TNI. Seruan ini mendapat sambutan positif dan viral, menunjukkan tingginya kesadaran dan kepedulian publik terhadap isu ini. Postingan tersebut mengajak seluruh lapisan masyarakat, mulai dari mahasiswa, buruh, pelajar, hingga pekerja, untuk bergabung dalam aksi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap RUU TNI bukan hanya datang dari kalangan tertentu, tetapi merupakan gerakan yang inklusif dan mewakili aspirasi rakyat luas.
Kontras, sebagai organisasi yang konsisten memperjuangkan hak asasi manusia, juga berperan aktif dalam menggalang dukungan melalui petisi online dan kampanye di media sosial. Mereka menekankan pentingnya penolakan RUU TNI untuk keselamatan bangsa, kedaulatan rakyat, dan supremasi sipil. Seruan "Jangan Diam! LAWAN!!!" yang dilontarkan Kontras menjadi penggugah semangat bagi netizen untuk turut serta dalam gerakan penolakan ini.
Reaksi warganet sangat beragam, namun mayoritas menunjukkan solidaritas dan dukungan terhadap aksi demonstrasi. Banyak yang mengirimkan doa dan harapan keselamatan bagi para demonstran, serta menyerukan dukungan digital bagi mereka yang tidak dapat hadir secara fisik. Dukungan ini tidak hanya berupa cuitan, tetapi juga seruan untuk membanjiri akun media sosial DPR dan pejabat terkait dengan tagar #TolakRUUTNI, sebagai bentuk tekanan publik.
Proses Pembahasan RUU TNI: Kecepatan yang Mengkhawatirkan
Proses pembahasan RUU TNI di DPR RI juga menjadi sorotan. Kecepatan pembahasan yang terkesan terburu-buru memicu kecurigaan akan adanya upaya untuk meloloskan RUU tersebut tanpa pertimbangan yang matang dan partisipasi publik yang memadai. Komisi I DPR RI telah menyelesaikan pembahasan tingkat pertama RUU TNI dan berencana untuk membawanya ke paripurna untuk disahkan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa suara publik yang menolak RUU tersebut akan diabaikan.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, mengkonfirmasi bahwa RUU TNI akan dibawa ke paripurna. Keputusan ini diambil setelah rapat kerja Komisi I DPR RI dengan pemerintah dan perwakilan dari berbagai fraksi di DPR. Meskipun terdapat kesepakatan dari delapan fraksi untuk membawa RUU TNI ke tingkat II (paripurna), proses yang terkesan cepat dan kurang transparan ini memicu protes dan kecurigaan dari berbagai pihak.
Kecepatan pembahasan ini dipertanyakan mengingat kompleksitas dan dampak signifikan yang dapat ditimbulkan oleh RUU TNI terhadap sistem ketatanegaraan dan kehidupan berbangsa. Kurangnya waktu untuk diskusi publik yang mendalam dan partisipasi masyarakat sipil dalam proses pembahasan RUU ini menjadi celah yang memicu penolakan dan kecurigaan.
Ancaman Terhadap Supremasi Sipil dan Demokrasi
Di balik hiruk pikuk media sosial dan aksi demonstrasi, terdapat kekhawatiran mendasar tentang ancaman terhadap supremasi sipil dan demokrasi di Indonesia. RUU TNI yang dianggap berpotensi memulihkan dwifungsi militer menjadi ancaman nyata bagi sistem demokrasi yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Pengalaman masa lalu menunjukkan bagaimana keterlibatan militer dalam politik dapat menyebabkan pelanggaran HAM, korupsi, dan ketidakstabilan politik.
Para penentang RUU TNI berargumen bahwa RUU ini akan melemahkan pengawasan sipil terhadap militer, memberikan ruang bagi militer untuk bertindak di luar koridor hukum dan melanggar hak asasi manusia. Hal ini akan mengancam kedaulatan rakyat dan meletakkan Indonesia pada risiko kemunduran demokrasi.
Oleh karena itu, penolakan terhadap RUU TNI bukan hanya sekadar penolakan terhadap sebuah undang-undang, tetapi juga merupakan perjuangan untuk mempertahankan nilai-nilai demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia di Indonesia. Gerakan #TolakRUUTNI menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap upaya-upaya yang dianggap mengancam demokrasi dan kesejahteraan bangsa.
Kesimpulan: Perjuangan Panjang Mempertahankan Demokrasi
Gerakan #TolakRUUTNI menunjukkan betapa pentingnya partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan dan pengawasan kekuasaan. Gelombang penolakan ini merupakan bukti kesadaran masyarakat akan pentingnya mempertahankan supremasi sipil dan mencegah kembalinya praktik dwifungsi militer. Perjuangan ini masih panjang, dan membutuhkan kerja sama dan solidaritas dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa suara rakyat didengar dan demokrasi di Indonesia tetap terjaga. Aksi demonstrasi dan kampanye di media sosial hanyalah sebagian kecil dari perjuangan panjang ini. Penting bagi masyarakat untuk tetap kritis, mengawasi proses legislasi, dan memastikan bahwa pemerintah bertindak sesuai dengan amanat konstitusi dan kepentingan rakyat. Keberhasilan gerakan #TolakRUUTNI akan menjadi tolok ukur penting dalam perjuangan mempertahankan demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia. Perjuangan ini bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk generasi mendatang.