Kecelakaan maut yang kembali mencoreng catatan kelam jalan tol Cipularang pada Kamis, 26 Desember 2024, pukul 01.35 WIB, bukanlah sekadar peristiwa tunggal. Dua nyawa melayang akibat tabrakan antara sebuah bus wisata religi yang melaju dari Bandung menuju Jakarta dengan sebuah truk di KM 80. Di balik angka korban dan kepedihan keluarga yang ditinggalkan, tersimpan pelajaran berharga yang menuntut evaluasi menyeluruh terhadap sistem keselamatan di jalan raya Indonesia, khususnya pada sektor transportasi umum. Lebih dari sekadar kecelakaan, peristiwa ini merupakan cerminan dari kegagalan sistemik yang perlu segera dibenahi.
Mengantuk di Balik Kemudi: Faktor Manusia yang Tak Boleh Diremehkan
Laporan awal dari Jasamarga Metropolitan Tollroad menunjuk pada faktor kelelahan dan mengantuk sebagai penyebab utama kecelakaan. Pengemudi bus diduga kehilangan konsentrasi dan tidak mampu mengantisipasi keberadaan truk di depannya. Ini bukan kasus yang terisolasi. Banyak kecelakaan lalu lintas, terutama yang melibatkan kendaraan berat seperti bus, disebabkan oleh kelelahan pengemudi. Kondisi ini, yang seringkali diabaikan, menjadi ancaman serius bagi keselamatan penumpang dan pengguna jalan lainnya.
Praktisi keselamatan berkendara, Sony Susmana, menekankan pentingnya mengenali tanda-tanda mengantuk saat mengemudi. Bukan hanya kantuk yang tiba-tiba menyerang, tetapi serangkaian gejala yang seringkali diabaikan: mengurangi frekuensi kedipan mata, mencari-cari kesibukan, menggerak-gerakkan pundak, mengucek mata, menggaruk kepala, dan mengulangi aktivitas yang sama secara berulang. Gejala-gejala ini merupakan sinyal bahaya yang harus segera direspons dengan beristirahat. Penumpang pun memiliki peran penting dalam mengingatkan pengemudi jika melihat tanda-tanda kelelahan tersebut. Jangan ragu untuk menegur sopir jika terlihat mengantuk, demi keselamatan bersama.
Faktor-faktor yang memicu kantuk saat mengemudi beragam. Kurang tidur, kelelahan fisik, waktu mengemudi yang terlalu lama, kebosanan (highway hypnosis), dan faktor usia semuanya berperan. Sony Susmana menambahkan bahwa tubuh sendiri merupakan indikator terbaik. Sebelum mengantuk hebat, tubuh memberikan sinyal-sinyal peringatan: pegal-pegal, mata perih, persepsi jarak yang terganggu, pandangan buram, dan penurunan kecepatan. Mengenali dan merespons sinyal-sinyal ini adalah kunci untuk mencegah kecelakaan.
Aturan yang Ada, Implementasi yang Terganjal?
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah mengatur secara jelas mengenai waktu kerja dan istirahat pengemudi kendaraan bermotor umum. Pasal 90 secara tegas menyebutkan kewajiban perusahaan angkutan umum untuk mematuhi ketentuan waktu kerja, istirahat, dan pergantian pengemudi. Aturan ini membatasi waktu kerja maksimal 8 jam sehari, dengan istirahat wajib minimal setengah jam setelah mengemudi selama 4 jam berturut-turut. Dalam kondisi tertentu, waktu kerja dapat diperpanjang hingga 12 jam, tetapi dengan jaminan waktu istirahat 1 jam.
Namun, regulasi yang baik tidak akan berarti apa-apa tanpa implementasi yang efektif. Pertanyaan kritis yang perlu diajukan adalah: apakah aturan ini benar-benar dipatuhi oleh perusahaan otobus? Apakah pengawasan dan penegakan hukum berjalan optimal? Kecelakaan di Cipularang ini menjadi bukti bahwa masih ada celah besar antara aturan di atas kertas dan praktik di lapangan. Kejar tayang dan tekanan untuk mencapai target operasional seringkali mengorbankan keselamatan pengemudi dan penumpang.
Lebih dari Sekadar Durasi Tidur: Kualitas Istirahat yang Terabaikan
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi, menambahkan dimensi penting lainnya: kualitas istirahat. Bukan hanya cukup tidur selama 6-8 jam, tetapi juga penting untuk memastikan kualitas tidur yang memadai. Tidur berkualitas melibatkan siklus tidur yang lengkap, terdiri dari fase NREM (Non Rapid Eye Movement) dan REM (Rapid Eye Movement). Setiap siklus membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam, dan idealnya, seseorang mendapatkan 4-5 siklus tidur dalam satu malam. Siklus tidur ini krusial untuk pemulihan fisik dan mental, memastikan pengemudi kembali bugar dan siap mengemudi dengan konsentrasi penuh.
Sayangnya, gaya hidup modern, tekanan pekerjaan, dan jadwal perjalanan yang padat seringkali mengorbankan kualitas tidur. Pengemudi bus, yang seringkali memiliki jadwal kerja yang tidak menentu dan harus menempuh perjalanan jarak jauh, rentan terhadap kurangnya tidur berkualitas. Hal ini semakin memperbesar risiko kecelakaan.
Jalan Panjang Menuju Keselamatan: Sinergi Multipihak yang Tak Terelakkan
Kecelakaan di Cipularang bukan hanya tanggung jawab pengemudi semata. Ini merupakan kegagalan sistemik yang melibatkan berbagai pihak. Perusahaan otobus memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan keselamatan pengemudi dan penumpang dengan mematuhi aturan waktu kerja dan istirahat, menyediakan fasilitas istirahat yang memadai, dan melakukan pelatihan keselamatan berkendara secara berkala. Pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan dan kepolisian, memiliki peran penting dalam pengawasan dan penegakan hukum, memastikan aturan dipatuhi dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar.
Selain itu, peran masyarakat juga tak kalah penting. Kesadaran akan pentingnya keselamatan berkendara harus terus ditingkatkan. Penumpang harus berani mengingatkan pengemudi jika melihat tanda-tanda kelelahan. Kampanye keselamatan berkendara yang efektif dan berkelanjutan perlu digencarkan untuk mengubah perilaku dan budaya berkendara di Indonesia.
Tragedi Cipularang harus menjadi momentum untuk melakukan perubahan nyata. Bukan hanya sekadar penyelidikan dan penegakan hukum, tetapi juga evaluasi menyeluruh terhadap sistem transportasi umum, termasuk pengawasan terhadap perusahaan otobus, pelatihan pengemudi, dan penegakan aturan waktu kerja dan istirahat. Hanya dengan sinergi multipihak yang kuat dan komitmen bersama untuk keselamatan, kita dapat mencegah tragedi serupa terulang di masa depan. Jalan menuju keselamatan di jalan raya masih panjang, dan kecelakaan di Cipularang menjadi pengingat akan betapa jauh kita masih harus melangkah.